Minggu, 24 Agustus 2008

Seperti Bayi

Ini hari yang lambat. Rasa sakit mengisi sebagaian ruang dan waktu. Sebenarnya tidak ada ruginya, sebab rasa sakit dapat mendewasakan. Tapi ada sebongkah kecurigaan dalam hati. Sebuah tanya, “Jangan-jangan ada yang salah dengan rasa sakitku”, mengiang di telinga. Memang tidak bisanya hati ini merasa sakit, dan tidak biasanya sebuah perasaan sampai berakibat lepas kontrol. Wajar jika curiga itu muncul.
Ujian di solo pos, hanya sepenggal kisah yang akan berlalu. Diterima bekerja, mendapat gaji, bukan segala-galanya, toh rejeki sudah diatur dan aku masih hidup. Menjadi wartawan juga bukan segala-galanya. Toh menulis bebas dilakukan siapa saja. Hanya saja, kegagalan berarti sebuah siksaan. Nurani ini tidak segan-segan menjatuhkan hukuman berat menyiksa. Hal inilah yang tidak ingin terasakan. Ditambah lagi melihat semua orang berhasil, hanya semakin menunjukkan ketidakmampuanku?
Semua yang menimpa, termasuk kegagalan yang datang, telah menggaris dalam takdir. Mau tidak mau, aku mau bersyukur. Mau tidak mau semua akan berlalu. Dan lagi, keberhasilan juga telah jelas tergaris dalam perjalanan. Keberhasilan tak dapat luput, keberhasilan tak dapat ditolak. Mau tidak mau aku bersyukur. Mau tidak mau aku berlalu.
Mampu merangkai kata—kuharapkan—menjadi sebuah takdir. Sebuah karya tulis yang indah, mungkin juga ilmiah, dapat saja lahir dari tanganku. Kelak, jika semua itu tergaris, mau tidak mau aku temui. Amin.
Kepercayaan diri, perasaan mampu melakukan sesuatu, perasaan memiliki, juga kuharap ada dalam takdirku. Mungkin, tapi saat ini siapa yang tahu? Hanya Allah yang Maha Tahu. Saat aku menoleh berpaling pada sesuatu, maka sesuatu yang lain akan menghilang.
Aku selalu kehilangan sesuatu. Sesuatu datang dan hilang. Namun bukan berarti tidak pernah ada sesuatu yang kumiliki. Banyak hal yang kuraih. Namun hakekatnya Allah Yang Memiliki.
Sesuatu yang aku anggap berharga, dan aku cintai pergi tanpa dapat kucegah. Betapa inginnya aku menahannya. Namun aku tak kuasa melepas kepergiannya.
Mungkin inilah yang menyebabkanku tak percaya pada kepemilikan. Hal ini pula telah melukai hatiku begitu dalam. Tapi justru lahir dari luka tersebut kedewasaan dan kelembutan sebuah hati.
Aku memang kehilangan sesuatu. Kehilangan telah digariskan menjadi takdirku. Namun dibalik itu, datang sesuatu sebagai gantinya. Sesuatu yang mungkin lebih berarti. Keraguanku terhadap kelebihan itu hanyalah karena kebodohanku belaka. Tidak ada yang luput, pada takdir yang telah tergaris.
Pertanyaan apa yang tepat untuk diajukan. Sebelum itu perlu dipercaya kata-kata yang keluar dari hati adalah sebuah mutiara yang berharga. Harus dipercaya aktifitas berfikir, bertanya, mencari, memahami adalah aktifitas ibadah kepada Allah, berpahala dan berbuah surga.
Semua yang tampak akan lebih bermakna saat dirangkai dengan pertanyan apa, bagaimana, mengapa, dimana kapan. Namun semua yang dapat dipahami akan lebih bermakna jika dapat terangkai dengan baik. Sepertinya fakta-fakta ini merupakan sebuah poptongan-potongan puzzle yang perlu dirangkai?
Segala sesuatu bisa dilihat, dipahami dari sudut pandang tertentu. Mencoba dan gagal adalah jalan yang harus di tempuh sebelum menemukan sudut pandang yang tepat. Manusia hanya bisa berusaha, Allah-lah yang menentukan. Berusaha di sini sama maknanya dengan mencoba. Manusia hanya bisa mencoba. Dalam mencoba, ada dua kemungkinan: gagal dan berhasil. Berada dalam kemungkinan bukan sesuatu yang mudah. Kesabaran seseorang diuji di sini. Daya tahan seseorang berada dalam wilayah kemungkinan menunjukan luas kesabarannya.
Selalu menerka, berasumsi, dan gagal, adalah takdir manusia. Mengapa bayi sangat cerdas. Sebab barangkali bayi tidak pernah berhenti, bayi terus mencoba, terus berhasil, terus gagal dan terus mencoba.
Bayi melakukan sesuatu dengan sepenuh hati. bayi tak pernah berhenti belajar. Bayi tak pernah berhenti melakukan sesuatu. Bayi tak pernah berhenti berfikir. Bayi tak pernah berhenti menginginkan. Bayi tak pernah berhenti mencoba. Bayi tak berhenti pada kegagalan.

Tidak ada komentar: